Minggu, 16 Desember 2012

Issue Penanganan Masalah Penyakit Asma


A.  PENGERTIAN ASMA

Asma menurut Americans Thoracic Society dikutip dari Barata Wijaya (1990) adalah suatu penyakit denagn ciri mendekatnya respons thrakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan  dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya berubah-ubah , baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan. 
Gambar 1. Keadaan saluran napas yang mengalami asma

Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran napas yang mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga apabila terangsang oleh faktor risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mukus, dan meningkatnya proses radang. Asma adalah salah satu penyakit kronik yang paling sering dijumpai dan merupakan penyebab utama kesakitan kronik dan kematian di seluruh dunia. Diperkirakan 300 juta orang di seluruh dunia menderita asma. Prevalensinya meningkat pesat selama 20 tahun terakhir, terutama pada anak. Untuk meningkatkan kualitas hidup penderita asma, khususnya asma berat, baru-baru ini dikembangkan sebuah prosedur baru bernama bronchial thermoplasty. Prosedur bronchial thermoplasty dirancang untuk mengurangi gejala asma, bukan untuk mengobati penyakit asma.
Asma adalah penyakit  yang mempunyai banyak faktor penyebab, dimana yang paling sering karena faktor atopi atau alergi. Faktor-faktor penyebab dan pemicu penyakit asma antara lain debu rumah dengan tungaunya, bulu binatang, asap rokok, asap obat nyamuk, dan lain-lain.
Secara umum Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (nafas berbunyi ngik-ngik), sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan. 

B.  ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

C.  FAKTOR RISIKO
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan.
1.      Faktor pejamu tersebut adalah:
a.    Predisposisi genetik asma
b.    Alergi
c.    Hipereaktifitas bronkus
d.   Jenis kelamin
e.    Ras/etnik

2.      Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :
a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan / predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma
 b.  Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap.

  • Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma adalah :
a)  Alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga
b)   Sensitisasi (bahan) lingkungan kerja
c)    Asap rokok
d)   Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
e)    Infeksi pernapasan (virus)
f)    Diet
g)   Status sosioekonomi
h)   Besarnya keluarga
i)     Obesitas 

Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala asma menetap adalah :
a)      Alergen di dalam maupun di luar ruangan
b)      Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
c)      Infeksi pernapasan
d)     Olah raga dan hiperventilasi
e)      Perubahan cuaca
f)       Makanan, adiktif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
g)      obat-obatan, seperti asetil salisilat
h)      ekspresi emosi yang berlebihan
i)        asap rokok

D.  GEJALA
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.
Gejala awal berupa :
a.    Batuk terutama pada malam atau dini hari
b.    Sesak napas
c.    Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
d.   Rasa berat di dada
e.    Dahak sulit keluar.

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah:
a.    Serangan batuk yang hebat
b.    Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
c.    Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
d.   Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
e.    Kesadaran menurun 

E.   DIAGNOSIS
Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter.
Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%.
Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.
Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Gambar 2. Macam-macam PEF meter

F.   KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Derajat asma
Gejala
Fungsi Paru
I. Intermiten
Siang hari < 2 kali per minggu
Malam hari < 2 kali per bulan
Serangan singkat
Tidak ada gejala antar serangan
Intensitas serangan bervariasi
Variabilitas APE < 20%
VEP1 > 80% nilai prediksi
APE > 80% nilai terbaik
II. Persisten Ringan
Siang hari > 2 kali per minggu, tetapi < 1 kali per hari
Malam hari > 2 kali per bulan
Serangan dapat mempengaruhi aktifitas
Variabilitas APE 20 - 30%
VEP1 > 80% nilai prediksi
APE > 80% nilai terbaik
III. Persisten Sedang
Siang hari ada gejala
Malam hari > 1 kali per minggu
Serangan mempengaruhi aktifitas
Serangan > 2 kali per minggu
Serangan berlangsung berhari2
Sehari-hari menggunakan inhalasi β2-agonis short acting
Variabilitas APE > 30%
VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
IV. Persisten Berat
Siang hari terus menerus ada gejala
Setiap malam hari sering timbul gejala
Aktifitas fisik terbatas
Sering timbul serangan
Variabilitas APE > 30%
VEP1 < 60% nilai prediksi
APE < 60% nilai terbaik
Tabel. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit

G. PENATALAKSANAAN ASMA
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :
1.    Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2.    Mencegah eksaserbasi akut
3.    Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4.    Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5.    Menghindari efek samping obat
6.    Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7.    Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :
1.    Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2.    Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3.    Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)
4.    Variasi harian APE kurang dari 20 %
5.    Nilai APE normal atau mendekati normal
6.    Efek samping obat minimal (tidak ada)
7.    Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Ø BRONCHIAL THERMOPLASTY
Bronchial thermoplasty adalah suatu prosedur yang bertujuan untuk mengurangi massa otot polos dan hiperresponsivitas di jalan napas dengan cara mengirimkan energi frekuensi radio dengan alat bronkoskop ke beberapa tempat dalam saluran udara utama penderita asma berat. Bronchial thermoplasty memiliki potensi bermanfaat pada mereka yang tidak berrespon terhadap pengobatan asma konvensional.

Gambar 3. Perangkat bronchial thermoplasty untuk pasien asma berat.
  • Efektivitas dan Keamanan Bronchial Thermoplasty
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine melaporkan hasil uji coba klinis tentang bronchial thermoplasty pada bulan Mei 2006. Penelitian dilakukan pada enam belas orang dewasa dengan asma ringan sampai sedang yang tidak berrespon terhadap pengobatan asma.
Hasil dari studi tersebut menggembirakan. Dua tahun setelah perawatan bronchial thermoplasty, 75 persen dari peserta melaporkan bahwa terapi ini memungkinkan mereka berfungsi lebih baik dalam kegiatan sehari-hari. Peserta juga melaporkan ada peningkatan hari bebas gejala. Efek samping yang dirasakan peserta minimal. Hampir semua peserta mengatakan bahwa mereka akan bersedia untuk menjalani perawatan asma untuk kedua kalinya.
Pada tahun 2010 penelitian lain yang dilakukan oleh Castro dkk. memperlihatkan perbaikan kualitas hidup yang signifikan pada 297 pasien dewasa di 30 klinik internasional. Perbaikan kualitas hidup diukur dengan Kuesioner Kualitas Hidup Asma (AQLQ) selama satu tahun pengobatan. Penelitian yang diberi nama The Asthma Intervention Research 2 (AIR2) Trial ini berupa uji klinis acak untuk membandingkan hasil keluaran antara pasien yang menerima bronchial thermoplasty dengan pasien yang menerima prosedur palsu. Penelitian ini juga membandingkan keamanan prosedur bronchial thermoplasty dengan yang prosedur palsu.
Ditemukan beberapa perburukan gejala asma setelah bronchial thermoplasty, namun efek tersebut tidak lebih buruk dari efek samping bronkoskopi biasa pada penderita asma. Sebagian besar terjadi dalam waktu satu hari setelah prosedur dan membaik dalam satu minggu dengan pengobatan asma standar. Berdasarkan tindak lanjut jangka panjang, hanya sedikit pasien yang melaporkan adanya efek samping. Menurut Castro, secara umum bronchial thermoplasty mengurangi berat eksaserbasi dan mengurangi kunjungan ke gawat darurat karena gangguan pernapasan serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan asma berat.
*        Prosedur Bronchial Thermoplasty
Gambar 4. Kateter di dalam saluran napas.
Gambar 5. Ujung kateter yang mengembang di dalam saluran napas.
Prosedur bronchial thermoplasty hanya membutuhkan anestesi ringan sehingga terapi ini dapat dilakukan secara rawat jalan. Lama terapi ini hanya tiga puluh menit. Sebuah tabung kecil yang disebut bronkoskop fleksibel dimasukkan melalui hidung atau mulut dan membimbing masuk ke dalam paru-paru. Setelah bronkoskop mencapai lokasi yang diinginkan, kateter dimasukkan melalui bronkoskop tersebut. Ujung kateter mengembang sampai menyentuh sisi-sisi dinding saluran napas.
Energi frekuensi radio kemudian dikirim melalui kateter sehingga terjadi pemanasan dinding otot polos jalan napas dengan suhu sekitar 149 ° C. Suhu ini cukup untuk menipiskan otot-otot halus di dinding saluran udara tanpa merusak mereka atau menimbulkan jaringan parut. Semua saluran udara dalam paru dimasuki oleh kateter ini.
Selama serangan asma, otot-otot halus dinding saluran napas berkontraksi mempersempit jalan udara. Karena bronchial thermoplasty menipiskan dinding otot, kontraksinya tidak dapat mempersempit saluran napas sebanyak ketika iritasi memicu serangan asma, sehingga gejala asma berkurang dan pasien merasa lega.
*         Kombinasi Terapi konvensional dan Bronchial Thermoplasty
Terapi ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) pada bulan April 2010 sehingga sudah dapat diaplikasikan. Meskipun begitu, pengobatan asma harus tetap mengacu pada pedoman Global Initiative for Asthma (GINA) terbaru.
Berdasarkan GINA 2009, terdapat empat komponen dalam penatalaksanaan asma, yaitu membangun kerjasama dokter pasien, mengidentifikasi dan mengurangi faktor risiko, menilai, mengobati serta mengawasi asma, dan menangani eksaserbasi asma.
Jadi upaya pertama penanganan pada penderita asma berat adalah tetap mengoptimalkan manajemen medis sesuai dengan pedoman yang sudah ada, termasuk di dalamnya penekanan pada edukasi dan kepatuhan pengobatan pasien. Bronchial thermoplasty merupakan pilihan terapi tambahan, di luar penggunaan inhalasi kortikosteroid dan agonis beta kerja lama, untuk meningkatkan kontrol asma secara menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar