BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Death and Dying “Kematian dan Proses Menuju Kematian”
adalah sebuah fenomena yang pasti akan terjadi atau akan dijumpai manusia dalam
kehidupannya. Kematian memang sebuah rahasia Tuhan, akan tetapi proses menuju
kematian adalah sebuah fenomena yang dapat dibahas dan didiskusikan, bahkan
lingkungan dapat memberikan proses pembelajaran yang benar untuk menjalani
proses menuju kematian yang lebih baik. Data di Poli Perawatan Paliatif RSUD
DR. Soetomo Surabaya menyebutkan bahwa pasien di Poli Perawatan Paliatif RSUD
DR. Soetomo Surabaya ini semakin hari jumlahnya semakin bertambah dari 3.962
pasien di tahun 1993 menjadi sekitar 4.298 di tahun 2001, meningkat 11,34%.
Sekitar 26,14% pasien berusia 45-54 tahun dan 13,56% berusia 30-44 tahun, jadi
sekitar 39,7% pasien Poli Perawatan Paliatif RSUD DR. Soetomo adalah
orang-orang yang berada pada usia produktif.
Ketika seseorang didiagnosa sakit dengan sebuah
sakit yang tergolong berat dan berstadium lanjut dimana pengobatan medis sudh
tidak mungkin diterimakan kepada si pasien, maka kondisi pasien tersebut akan
mengaami sebuah goncangan yang hebat. Kematian adalah salah satu jawaban pasti
bagi para pasien terminal illness. Berjalannya waktu baik itu pendek atau
panjang, bagi para pasien terminal illness adalah hari-hari yang sangat
menyiksa karena mereka harus menantikan kematian sebagai jawaban pasti dengan
penderitaan rasa nyeri yang sangat hebat. (Megawe ; 1998) Berbagai macam peran
hidup yang dijalani selama ini pasti akan menghadapi kendala baik itu
disebabkan karena kendala fisik, psikologis, social, cultural maupun spiritual.
Demikian pula, prognosis akan kematian pada para pasien terminal illness akan
lebih memberikan dampak konflik psikologis, social, cultural maupun spiritual
yang sangat unik.
B.
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian penyakit terminal illness.
2. Memahami
konsep perawatan pada pasien terminal illness.
3. Memahami
tahapan menuju kematian.
4. Mengetahui
asuhan keperawatan pada klien terminal illness.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Terminal Illnes
Pasien terminal illness adalah pasien yang sedang
menderita sakit dimana tingkat sakitnya telah mencapai stadium lanjut sehingga
pengobatan medis sudah tidak mungkin dapat menyembuhkan lagi. Oleh karena itu,
pasien terminal illnes harus mendapatkan perawatan paliatif yang bersifat
meredakan gejala penyakit, namun tidak lagi berfungsi untuk menyembuhkan.
Jadi fungsi perawatan paliatif pada pasien terminal
illnes adalah mengendalikan nyeri yang dirasakan serta keluhan-keluhan lainnya
dan meminimalisir masalah emosi, sosial dan spiritual. Penjelasan tersebut
mengindikasi bahwa pasien terminal illness adalah orang-orang sakit yang
diagnosis dengan penyakit berat yang tidak dapat disembuhkan lagi dimana
prognosisnya adalah kematian.
B.
Kematian
Bagi Pasien Terminal Illnes
Kondisi Terminal adalah suatu kondisi dimana
seseorang mengalami sakit atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk
sembuh dan menuju pada proses kematian dalam 6 bulan atau kurang. Kematian
sebagai wujud kehilangan kehidupan dan abadi sifatnya, baik bagi yang telah
menjalani proses kematian maupun bagi yang ditinggalkan, kematian ini dapat
bermakna berbeda bagi setiap orang.
Kematian adalah sebuah rahasia Tuhan. Namun, sebab-sebab
kematian merupakan fenomena yang selalu mengalami dinamika perubahan sesuai
dengan dinamika perubahan manusia sebab kematian adalah akhir dari tahapan
tugas-tugas perkembangan hidup manusia. Manusia bias mati karena sakit,
kecelakaan, terbunuh, bunuh diri, euthanasia atau mungkin mati tanpa sebab
apa-apa. Manusia yang mati secara mendadak tanpa melalui proses menuju kematian
atau sekarat dalam jangka waktu yang relative pendek pasti tidak menunjukan
dinamika sebagaimana yang dikemukakan
oleh Kubbler Rose (1998) atau Pattison dalam Papalia (1977); sedangkan
mereka yang mati melalui proses menuju kematian dalam jangka waktu yang relatif
panjang seperti pasien erminal illness akan menunjukan dinamika yang sangat
kompleks.
Saat kematian itu datang, maka berhentilah semua
aktivitas organ-organ yang menyokong kehidupan. Suasana berkabung dan emosi
sedihlah yang biasa mendominasi kematian. Semua makhluk yang pernah hidup pasti akan mati, termasuk
manusia. Hanya saja kapan waktu tibanya kematian itulah yang tidak pasti.
Ketakutan dan kecemasan akan suatu kematian merupakan fenomena yang umum
dialami oleh semua manusia.
Ketakutan dan
kecemasan itu dapat muncul karena waktu tibanya yang tidak
diketahui dan belum adanya kesiapan untuk menghadapi kematian itu sendiri.
Kesiapan akan meninggalkan orang-orang yang disayangi, kesiapan untuk
meninggalkan dunia yang mungkin penuh dengan kenikmatan, dan menuju suatu
tempat atau kehidupan lain yang berbeda.
Hal ini berarti bahwa waktu kematiannya lebih jelas
diketahui dan menjadi suatu hal yang pasti. Meskipun waktu kematian yang sudah
dapat dilihat dengan lebih pasti, namun rasa tidak terima, takut, marah, cemas,
dan sedih menghinggapi pasien terminal illness setelah ia
didiagnosis seperti itu.
Diagnosis terminal
illness dapat menyebabkan trauma bagi pasien dan keluarganya.
C.
Adaptasi
Dengan Terminal illness
Bagaimana cara
seseorang beradaptasi dengan terminal illness sesuai dengan umurnya dijelaskan Sarafino (2002) sebagai
berikut:
1. Anak
Konsep kematian masih abstrak dan tidak
dimengerti dengan baik oleh anak-anak. Sampai umur 5 tahun, anak masih berpikir
bahwa kematian adalah hidup di tempat lain dan orang dapat datang kembali.
Mereka juga percaya bahwa kematian bisa dihindari. Kematian adalah topik yang
tidak mudah bagi orang dewasa untuk didiskusikan dan mereka biasanya
menghindarkan anaknya dari realita akan kematian dengan mengatakan bahwa orang
mati akan “pergi” atau “berada di surga” atau hanya tidur.
Pada anak yang mengalami terminal illness
kesadaran mereka akan muncul secara bertahap. Pertama, anak akan menyadari
bahwa mereka sangat sakit tetapi akan sembuh. Kemudian mereka menyadari
penyakitnya tidak bertambah baik dan belajar mengenai kematian dari teman
seumurnya terutama orang yang memiliki penyakit mirip, lalu mereka menyimpulkan
bahwa mereka juga sekarat.
Saat ini, para ahli percaya bahwa
anak-anak seharusya mengetahui sebanyak mungkin mengenai penyakitnya agar
mereka mengerti dan dapat mendiskusikannya terutama mengenai perpisahan dengan
orang tua. Ketika anak mengalami terminal illness biasanya orang tua
akan menyembunyikannya, sehingga emosi anak tidak terganggu. Untuk anak yang
lebih tua, pendekatan yang hangat, jujur, terbuka, dan sensitif mengurangi
kecemasan dan mempertahankan hubungan yang saling mempercayai dengan orang
tuanya.
2. Remaja atau Dewasa muda
Walaupun remaja dan dewasa muda
berpikir bahwa kematian pada usia muda cukup tinggi, mereka memimpikan kematian
yang tiba-tiba dan kekerasan. Jika mereka mengalami terminal illness,
mereka menyadari bahwa kematian tidak terjadi semestinya dan merasa marah
dengan “ketidakberdayaannya” dan “ketidakadilan” serta tidak adanya kesempatan
untuk mengembangkan kehidupannya.
Pada saat seperti ini, hubungan
dengan ibunya akan menjadi lebih dekat. Menderita terminal illness terutama
pada pasien yang memiliki anak akan membuat pasien merasa bersalah tidak dapat
merawat anaknya dan seolah-olah merasa bahagia melihat anaknya tumbuh. Karena
kematian pada saat itu terasa tidak semestinya, dewasa muda menjadi lebih marah
dan mengalami tekanan emosi ketika hidupnya diancam terminal illness.
3. Dewasa madya dan dewasa tua
Penelitian membuktikan bahwa dewasa
muda menjadi semakin tidak takut dengan kematian ketika mereka bertambah tua. Mereka
menyadari bahwa mereka mungkin akan mati karena penyakit kronis. Mereka juga
memiliki masa lalu yang lebih panjang dibandingkan orang dewasa muda dan
memberikan kesempatan pada mereka untuk menerima lebih banyak. Orang-orang yang
melihat masa lalunya dan percaya bahwa mereka telah memenuhi hal-hal penting
dan hidup dengan baik tidak begitu kesulitan beradaptasi dengan terminal
illness.
D.
Problem
Yang Berkaitan Dengan Terminal Illnes
1. Problem
fisik, berkaitan dengan kondisi (penyakit terminalnya): nyeri, perubahan
berbagai fungsi sistem tubuh, perubahan tampilan fisik.
2. Problem
psikologis (ketidakberdayaan): kehilangan control, ketergantungan, kehilangan
diri dan harapan.
3. Problem
sosial, isolasi dan keterasingan, perpisahan.
4. Problem
spiritual.
5. Ketidak-sesuaian,
antara kebutuhan dan harapan dengan perlakuan yang didapat (dokter, perawat,
keluarga, dsb).
E.
Tahapan
Penerimaan Terhadap Kematian
Kubler-
Ross (dalam Taylor, 1999) merumuskan lima tahap ketika seseorang
dihadapkan pada kematian. Kelima tahap tersebut antara lain:
1. Denial
(penyangkalan)
Respon dimana klien tidak
percaya atau menolak terhadap apa yang dihadapi atau yang sedang terjadi. Dan tidak siap terhadap kondisi yang dihadapi
dan dampaknya. Ini memungkinkan bagi pasien untuk membenahi diri. Dengan
berjalannya waktu, sehingga tidak refensif secara radikal.
Penyangkalan merupakan reaksi
pertama ketika seseorang didiagnosis menderita terminal illness. Sebagian besar
orang akan merasa shock, terkejut dan merasa bahwa ini merupakan kesalahan.
Penyangkalan adalah awal penyesuaian diri terhadap kehidupan yang diwarnai oleh
penyakit dan hal tersebut merupakan hal yang normal dan berarti.
2. Marah
Fase marah terjadi pada saat fase
denial tidak lagi bisa dipertahankan. Rasa kemarahan ini sering sulit dipahami
oleh keluarga atau orang terdekat oleh karena dapat terpicu oleh hal-hal yang
secara normal tidak menimbulkan
kemarahan. Rasa marah ini sering terjadi karena rasa tidak berdaya, bisa
terjadi kapan saja dan kepada siapa saja tetapi umumnya terarah kepada
orang-orang yang secara emosional punya kedekatan hubungan.
Pasien yang menderita terminal
illness akan mempertanyakan keadaan dirinya, mengapa ia yang menderita penyakit
dan akan meninggal. Pasien yang marah akan melampiaskan kebenciannya pada
orang-orang yang sehat seperti teman, anggota keluarga, maupun staf rumah
sakit. Pasien yang tidak dapat mengekspresikan kemarahannya misalnya melalui
teriakan akan menyimpan sakit hati. Pasien yang sakit hati menunjukkan
kebenciannya melalui candaan tentang kematian, mentertawakan penampilan atau
keadaannya, atau berusaha melakukan hal yang menyenangkan yang belum sempat
dilakukannya sebelum ia meninggal.
Kemarahan merupakan salah satu
respon yang paling sulit dihadapi keluarga dan temannya. Keluarga dapat bekerja
sama dengan terapis untuk mengerti bahwa pasien sebenarnya tidak marah kepada
mereka tapi pada nasibnya.
3. Bargaining (menawar)
Klien mencoba untuk melakukan tawar
menawar dengan tuhan agar terhindar dari kehilangan yang akan terjadi, ini bisa
dilakukan dalam diam atau dinyatakan secara terbuka. Secara psikologis tawar
menawar dilakukan untuk memperbaiki kesalahan atau dosa masa lalu. Pada tahap
ini pasien sudah meninggalkan kemarahannya dalam berbagai strategi seperti
menerapkan tingkah laku baik demi kesehatan, atau melakukan amal, atau tingkah
laku lain yang tidak biasa dilakukannya merupakan tanda bahwa pasien sedang
melakukan tawar-menawar terhadap penyakitnya.
4. Depresi
Tahap keempat dalam model
Kubler-Ross dilihat sebagai tahap di mana pasien kehilangan kontrolnya. Pasien
akan merasa jenuh, sesak nafas dan lelah. Mereka akan merasa kesulitan untuk
makan, perhatian, dan sulit untuk menyingkirkan rasa sakit atau
ketidaknyamanan. Rasa kesedihan yang mendalam sebagai akibat kehilangan ( past
loss & impending loss), ekspresi kesedihan ini verbal atau nonverbal
merupakan persiapan terhadap kehilangan atau perpisahan abadi dengan apapun dan
siapapun.
Tahap depresi ini dikatakan sebagai
masa ‘anticipatory grief’, di mana pasien akan menangisi kematiannya sendiri. Proses
kesedihan ini terjadi dalam dua tahap, yaitu ketika pasien berada dalam masa
kehilangan aktivitas yang dinilainya berharga, teman dan kemudian mulai
mengantisipasi hilangnya aktivitas dan hubungan di masa depan.
5. Penerimaan (acceptance)
Pada tahap ini pasien sudah terlalu lemah
untuk merasa marah dan memikirkan kematian. Beberapa pasien menggunakan
waktunya untuk membuat perisapan, memutuskan kepunyaannya, dan mengucapkan
selamat tinggal pada teman lama dan anggota keluarga.
Pada tahap menerima ini, klien memahami dan menerima
keadaannya yang bersangkutan mulai kehilangan interest dengan lingkungannya, dapat
menemukan kedamaian dengan kondisinya, dan beristirahat untuk menyiapkan dan
memulai perjalanan panjang.
F. Dinamika
Psikologis
Dinamika psikologis secara umum sebagai berikut:
1.
Individu
menyadari atau berkata bahwa kehidupannya akan segera berakhir,
2.
Individu
tidak pernah ada yang tahu kapan kematiannya akan datang,
3. Individu
mulai mengalami keputusasaan akan treatmen-treatmen yang didapat dan
dijalankan, ia mulai yakin bahwa semua yang dilakukan tidak akan menyembuhkan
penyakitnya bahkan ia yakin kematian telah dekat,
4. Individu
mulai mengalami problem-problem pikiran, perasaan dan psikologis yang
kesemuanyasulit untuk dipecahkan. Dinamika keempat ini tidak dialami secara signifikan pada personalitnya yang cukup matang sehingg
dinamika psikologisnya untuk menghadapi kematian lebih cepat mencapai acceptance/penerimaan.
Dinamika tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu
: umur, jenis kelamin, ras/suku bangsa, budaya kelompok, latar belakang sosial,
dan personality/kepribadian.
G.
Tingkat
Kesadaran
Terhadap Kondisi Terminal Illnes
1. Closed
Awareness
Dalam hal ini klien
dan keluarga tidak menyadari datangnya kematian, tidak tahu mengapa sakit dan percaya akan sembuh.
2. Mutual
Pretense
Dalam hal ini klien,
keluarag, team kesehatan tahu bahwa kondisinya terminal tetapi merasa tidak
nyaman untuk dan menghindari membicarakan kondisi yang dihadapi klien. Ini
berat bagi klien karena tidak dapat mengekspresikan kekuatannya.
3. Open
Awareness
Pada
kondisi ini klien dan orang disekitarnya tahu
bahwa dia berada diambang kematian sehingga tidak ada kesulitan untuk
membicarakannya. Pada tahap ini klien dapat dilibatkan untuk proses intervensi
keperawatan.
H.
Tujuan
Keperawatan
Tujuan keperawatan klien dengan kondisi terminal secara
umum/cara mengurangi syok :
1.
Menghilangkan atau mengurangi rasa
kesendirian, takut dan depresi
2.
Mempertahankan rasa aman, harkat dan
rasa berguna
3.
Membantu klien menerima rasa kehilangan
4.
Membantu kenyamanan fisik
5.
Mempertahankan harapan (faith and hope)
Peran
Perawat Saat Klien Dalam Kondisi Terminal Illness
a.
Pengabdian
yang tulus dengan hati nurani yang ikhlas
b. Seulas
senyum yang ikhlas dari seorang perawat bisa memberikan secercah harapan
kesembuhan untuk seorang pasien
c.
Membantu
klien agar siap meninggal dengan tenang
d.
Memenuhi
kebutuhan spiritual
Intervensi
Keperawatan Terhadap Respon Klien
a.
Tahap
Denial
Beri
dukungan pada fase awal karena ini berfungsi protektif dan memberi waktu bagi
klien untuk melihat kebenaran. Bantu untuk melihat kebenaran dengan konfirmasi
kondisi melalui second opinion.
b.
Tahap
Anger
Bantu
klien untuk memahami bahwa marah adalah respon normal akan kehilangan dan
ketidakberdayaan. Siapkan bantuan berkesinambungan agar klien merasa aman.
c.
Tahap
Bargaining
Asah
kepekaan perawat bila fase tawar menawar ini dilakukan secara diam-diam.
Bargaining sering dilakukan klien karena rasa bersalah atau ketakutan terhadap
bayang-bayang dosa masa lalu. Bantu agar klien mampu mengekspresikan apa yang
dirasakan, apabila perlu datangkan pemuka agama untuk pendampingan.
d.
Tahap
Depresi
Klien
perlu untuk merasa sedih dan beri kesempatan untuk mengekspresikan
kesedihannya. Perawat hadir sebagai pendamping dan pendengar.
e.
Tahap
Menerima
Klien
merasa damai dan tenang. Dampingi klien untuk mempertahankan rasa berguna (self
worth). Berdayakan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang masih mampu
dilakukan dengan pendampingan. Fasilitasi untuk menyiapkan perpisahan abadi.
I. Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Kondisi Terminal Illnes
1.
Pengkajian
Hal-hal
yang dikaji adalah :
- Tanda gejala ansietas ( misalnya, tanda vital, nafsu makan, pola tidur, dan tingkat konsentrasi).
- Dukungan yang disediakan yang penting bagi klien.
- Ekspresi tidak ada harapan atau tidak berdaya (misalnya, ”aku tidak dapat”).
- Sumber ansietas (misalnya, nyeri malfungsi tubuh, penghinaan, pengabaian, kegagalan, akibat negatif dari survivor).
2.
Perumusan Masalah Keperawatan Dan Diagnosa Keperawatan
- Ansietas berhubungan dengan takut terhadap proses menjelang ajal.
- Sedih kronis berhubungan dengan kesedihan yang mendalam karena meninggalkan keluarga sendirian setelah kematian.
- Distress spiritual berhubungan dengan gambaran kematian yang negatif atau pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan tentang semua kejadian yang berkaitan dengan kematian atau menjelang ajal.
3.
Rencana Asuhan Keperawatan
- Kaji
tanda gejala ansietas.
R/ ansietas menunjukkan berkurangnya harapan hidup pasien. - Kaji
TTV.
R/ penurunan tanda-tanda vital menandakan kondisi yang sangat kritis. - Kaji
dukungan yang disediakan oleh keluarga pasien.
R/ dkungan dari keluarga klien akan membuat pasien tenang dalam menghadapi kematian. - Kaji
ekspresi tidak ada harapan atau tidak berdaya dari pasien.
R/ ekspresi yang tenang menunjukkan kesiapan pasien menjelang ajal. - Kaji
sumber ansietas pasien.
R/ membantu klien menyelesaikan wasiat-wasiat akan mengurangi kecemasan pasien dalam menghadapi kematian. - Berikan pemahaman kepada kepada keluarga pasien tentang penyakit pasien.
4.
Implementasi keperawatan
o
Mengkaji
gejala gejala ansietas(misalnya: nafsu makan , pola tidur,dan tingkat
konsentrasi).
o
Mengkaji
anda-tanda vital dan evalasi tingkat kesadaran pasien.
o
Berikan
dukungan lepada pasien dengan tidak menyinggung keyakinan pasien.
o Megkaji
ekspresi tidak adanya harapan hidup dan memberikan dukungan sepenuhnya terhadap
apa yang diwasiatkan pasien.
o
Memberikan
pemahaman pada keluarga tentang apa yang sedang dihadapi paien.
o
Memberikan
kejujuran dan jawaban langsung terhaadap pertanyaan pasien tentang proses
menjelang kematian.
5.
Evaluasi
o
Klien
mampu mempertahankan kenyamanan psikologis selama proses menjelang ajal.
o
Klien
mampu mengungkapkan perasaan misalnya : marah, sedih, atau kehilangan dan
pikiran dengan staf perawat dan/atau orang penting bagi klien.
o
Mampu
mengidentifikasi area kontrol pribadi.
o
Mampu
mengekspresikan perasaan yang positif tentang hubungan dengan orang penting
bagi pasien.
o
Mampu
menerima keterbatasan dan mencari bantuan sesuai kebutuhan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kematian
adalah rahasia tuhan dengan sebab-sebab yang sangat bevariatif, sedangkan
tahapan menuju kematian dapat di tanjau dari beberapa factor di antaranya : umur,
jenis kelamin, ras/suku bangsa, budaya kelompok, latar belakang social, personality/keribadian.
Penelitian yakin bahwa kepribadian merupakan factor utama diantara enam factor
yang lain di dalam menentukan dinamika pasien terminal illnessdalam menghadapi
kematian. Subyek penelitian yang menunjukan perkembangan ego integrity yang
matang ternyata dapat mencapai tahapan ecceptence lebih cepat di banding yang
lin sehingga ia mampu menyikapi sakit dan kesakitannya dengan tidak emosional,
meskipun peran social support juga sangat penting untuk mencapai tahapan
ecceptence tersebut.
B.
Saran
Pada
dasarnya orang-orang disekitar pasien terminal illness dapat membantu pasien mencapai tahapan kelima
yaitu “acceptance”. Tujuannya agar pasien terminal illness dapat mencapai “good
death atau chusnul khotimah”.
DAFTAR PUSTAKA
Brehm Sharon & Saul Kassin.
1991. Social Psychology; Understanding
Human Interaction.
Gladding T. Samuel. 2000. Counseling : a Comprehensive Profession.
New Jersey : Prentice hall Inc.
Kubler-Rose, E. 1998. On Death and Dying (Kematian sebagai bagian dari
kehidupan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Herlin Megawe. 1998. Nyeri Kanker. Surabaya : Media IDI.
Papalia, Sterns, & Feldman.
1997. Adult Development Psychology and Aging. USA : Mc. Graw Hill Company.
Bet365 Casino NZ - Mapyro
BalasHapusIs 부천 출장마사지 Bet365 legit? Find out why we consider it to be one 원주 출장샵 of the best betting 공주 출장샵 sites in New Zealand. Find 밀양 출장안마 out 김포 출장마사지 why we consider it to be one of the best betting sites in